Gunung Merapi adalah sebuah taman nasional (sering disingkat TN) yang terletak di Jawa bagian tengah. Secara administrasi kepemerintahan, wilayah taman nasional ini masuk ke dalam wilayah dua propinsi, yakni Jawa Tengah dan YogyakartaTipe iklim di wilayah ini adalah tipe C menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson, yakni agak basah dengan nilai Q antara 33,3% - 66%. Besar curah hujan bervariasi antara 875 - 2527 mm pertahun..
Posisi geografis kawasan TN Gunung Merapi adalah di antara koordinat 07°22'33" - 07°52'30" LS dan 110°15'00" - 110°37'30" BT. Sedangkan luas totalnya sekitar 6.410 ha, dengan 5.126,01 ha di wilayah Jawa Tengah dan 1.283,99 ha di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kawasan TN G Merapi tersebut termasuk wilayah kabupaten-kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten di Jawa Tengah, serta Sleman di Yogyakarta.
Sejarah kawasan
Hutan-hutan di Gunung Merapi telah ditetapkan sebagai kawasan lindung sejak tahun 1931 untuk perlindungan sumber air, sungai dan penyangga sistem kehidupan kabupaten/kota Sleman, Yogyakarta, Klaten, Boyolali, dan Magelang.
Sebelum ditunjuk menjadi TNG Merapi, kawasan hutan di wilayah yang termasuk propinsi DI Yogyakarta terdiri dari fungsi-fungsi hutan lindung seluas 1.041,38 ha, cagar alam (CA) Plawangan Turgo 146,16 ha; dan taman wisata alam (TWA) Plawangan Turgo 96,45 ha. Kawasan hutan di wilayah Jateng yang masuk dalam wilayah TN ini merupakan hutan lindung seluas 5.126 ha.
JURU KUNCI
Riwayat Hidup Mbah Maridjan Juru Kunci Gunung Merapi - Terlahir dengan nama Mas Penewu Suraksohargo di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman pada tahun 1927. Istri Mbah Maridjan sendiri bernama Ponirah (73), mempunyai 10 orang anak (lima di antaranya telah meninggal), 11 cucu, dan 6 orang cicit. Saat ini anak-anak Mbah Maridjan berdomisili Jakarta dan Yogyakarta.
Pada tahun 1970 Mbah Maridjan diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta dan oleh Sultan Hamengku Buwono IX diberi nama baru, yaitu Mas Penewu Suraksohargo1. Pada saat itu, sebagai abdi dalem, Mbah Maridjan diberi jabatan sebagai wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi.
Pada saat menjadi wakil juru kunci, Mbah Maridjan sudah sering mewakili ayahnya untuk memimpin upacara ritual labuhan di puncak Gunung Merapi. Setelah ayahnya wafat, pada tanggal 3 Maret 1982, Mbah Maridjan diangkat menjadi juru kunci Gunung Merapi. Setiap gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu komando dari beliau untuk mengungsi.
Aktifitas Gunung Merapi
Yogyakarta - Semburan Gunung Merapi diperkirakan belum akan berhenti. Berdasarkan hasil pantauan Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta menggunakan alat dan analisis visual, aktivitas Merapi masih tinggi.
"Kini Merapi berstatus 'awas' karena masih terjadi gempa dan awan panas," kata Kepala Seksi Gunung Merapi Sri Sumarti.
Balai pemantau gunung itu hingga kemarin masih terus mencatat gempa dan deformasi (penggembungan) tubuh dari lokasi-lokasi yang aman dari amukan wedhus gembel atau awan panas. Mereka juga melarang masyarakat mendekat ke area yang berjarak 10 kilometer dari puncak Merapi. Daerah tersebut ditetapkan sebagai area rawan bencana III. Yang masuk dalam daerah ini adalah hulu sungai di sekitar Merapi sektor selatan, tenggara, dan barat daya. Sungai-sungai yang dimaksudkan adalah Kali Boyong, Kuning, Gendol, Woro, Bebeng, Krasak, dan Bedog.
Menurut Sri Sumarti, bila aktivitas Merapi sudah menurun, statusnya akan diturunkan menjadi siaga atau turun lagi menjadi normal.
Letusan Merapi terjadi mulai 26 Oktober hingga 30 Oktober lalu. Sudah 11 juta meter kubik bahan vulkanik--pasir, batu, dan debu--dimuntahkan dari perut Merapi. Sebagian besar material gunung di perbatasan Jawa Tengah dengan Daerah Istimewa Yogyakarta itu mengarah ke Kali Gendol di Cangkringan, Sleman.
"(Material itu) masih akan bertambah jumlahnya karena terus terjadi luncuran awan panas dan material vulkanik," kata Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, R. Sukhyar, di Yogyakarta kemarin. Tapi ia meminta masyarakat tak khawatir. Kali Gendol, katanya, bisa menampung 18 juta meter kubik material. Kali Opak, yang dekat dengan Kali Gendol, punya daya tampung 8 juta meter kubik.
Guyuran abu vulkanik yang sampai ke Yogyakarta itu sempat membuat warganya cemas. Banyak orang khawatir kondisi udara Kota Gudeg itu bakal membahayakan. Orang pun berebut membeli masker sampai apotek-apotek di sana kekurangan pasokan.
Kecemasan itu ditepis Badan Lingkungan Hidup. Menurut badan ini, kualitas air dan udara Yogyakarta masih aman. Kepala Badan Lingkungan Suyana mengatakan, untuk kualitas air terbuka di alam, kandungan abu sulfatnya (SO2) sekitar 50 miligram per liter, dan air tertutup 30 miligram per liter. Padahal ambang batasnya 400 miligram per liter. "Jadi, masih aman," ucapnya.
Kualitas udara juga dicek di beberapa titik, seperti di Perempatan Pingit, Kelurahan Bener, Perempatan Wirobrajan, Kantor Pos Besar, Parkir Abu Bakar Ali, Pojok Beteng Kulon, dan Perempatan Tungkak. Hasilnya, kandungan sulfat tertinggi 0,12 ppm (satu per sejuta). Angka itu masih di bawah ambang batas 0,34 ppm.
Wali Kota Yogya Herry Zudianto kemarin mengedarkan surat jaminan bahwa Yogya layak wisata kepada seluruh biro perjalanan wisata di sana. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Surono, juga menegaskan bahwa daerah rawan bencana hanya pada radius 10 kilometer. Sedangkan jarak Yogyakarta dengan Merapi 30 kilometer.
Gunung Merapi adalah yang termuda dalam kumpulan gunung berapi di bagian selatan Pulau Jawa. Gunung ini terletak di zona subduksi, dimana Lempeng Indo-Australia terus bergerak ke bawah Lempeng Eurasia. Letusan di daerah tersebut berlangsung sejak 400.000 tahun lalu, dan sampai 10.000 tahun lalu jenis letusannya adalah efusif. Setelah itu, letusannya menjadi eksplosif, dengan lava kental yang menimbulkan kubah-kubah lava.
Letusan-letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun, dan yang lebih besar sekitar 10-15 tahun sekali. Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar antara lain di tahun 1006, 1786, 1822, 1872, dan 1930. Letusan besar pada tahun 1006 membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi abu. Diperkirakan, letusan tersebut menyebabkan kerajaan Mataram Kuno harus berpindah ke Jawa Timur. Letusannya di tahun 1930 menghancurkan 13 desa dan menewaskan 1400 orang.
Letusan pada November 1994 menyebabkan hembusan awan panas ke bawah hingga menjangkau beberapa desa dan memakan korban puluhan jiwa manusia. Letusan 19 Juli 1998 cukup besar namun mengarah ke atas sehingga tidak memakan korban jiwa. Catatan letusan terakhir gunung ini adalah pada tahun 2001-2003 berupa aktivitas tinggi yang berlangsung terus-menerus.